Sumber: https://www.thecreativepenn.com/2012/12/07/after-first-draft-whats-next/ |
Siang ini saya mengupload makalah yang pernah saya susun waktu masih kuliah semester 1 dulu. Judulnya adalah "Pendidikan Inklusif sebagai Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus di Tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama". Makalah ini merupakan salah satu tugas akhir dari matakuliah Bahasa Indonesia. langsung saja, untuk lebih lanjutnya silahkan baca selengkapnya di bawah ini:
PENDIDIKAN
INKLUSIF SEBAGAI PENDIDIKAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI TINGKAT SEKOLAH
DASAR DAN SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Disusun
sebagai Tugas Matakuliah Bahasa Indonesia
Dosen
Pembimbing: Arif Setiawan, S.Pd
logo kampus
Oleh:
NOVA
TRI HARDIAN PRAMUDITYA
201010430311545
I E
JURUSAN
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MALANG
JANUARI
2011
_________________________________________________________
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan karunia-Nya dan semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah
kepada Nabi Muhammmad SAW sebagai rosul utusan-Nya, sehingga penyusun
dapat menyelesaikan tugas Makalah Bahasa Indonesia yang berjudul “Pendidikan
Inklusif sebagai Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus di Tingkat Sekolah
Dasar dan Sekolah Menengah Pertama”. Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk
memenuhi tugas di akhir semester 1, pada Matakuliah Bahasa Indonesia, Jurusan
Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik secara
moral maupun material, maka segala hambatan dan kesulitan yang penyusun hadapi
dalam menyusun makalah ini dapat teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penyusun menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Arif Setiawan, S.Pd selaku dosen Matakuliah
Bahasa Indonesia, yang senantiasa membimbing dan memberikan
arahan sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tanpa hambatan kesulitan
yang berarti.
Harapan penyusun, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi penyusun sendiri maupun para pembaca.
Malang, 6 Januari 2011
Penyusun
ii
_________________________________________________________
DAFTAR
ISI
HALAMAN DEPAN
..................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR
................................................................................................... iii
DAFTAR ISI
................................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
.............................................................................................. 1
A. Latar
Belakang Penulisan ..................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
C.
Tujuan Penulisan .................................................................................................. 3
D.
Manfaat ................................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
............................................................................................... 4
A. Konsep
Pendidikan Inklusi ................................................................................. 4
B. Pendidikan Luar Biasa (Pendidikan Khusus)
..................................................... 6
C. Landasan Pendidikan Inklusi .............................................................................. 8
D. Kontroversi Pendidikan Inklusi .......................................................................... 11
E. Model
Pendidikan Inklusi Indonesia .................................................................. 13
F. Komponen yang Perlu Disiapkan ....................................................................... 15
BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 17
A. Kesimpulan
......................................................................................................... 17
B. Saran
................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA
.................................................................................................... 18
iii
_________________________________________________________
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat
1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab
III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama
memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula
memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam
pendidikan.
Selama ini, pendidikan bagi anak berkelainan
disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan
(SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai
lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang
sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB
Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai
jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan
pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkelainan,
dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang
sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya
kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak
berkelainan.
Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota
Kabupaten. Padahal anak-anak berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah
(Kecamatan/Desa), tidak hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian
anak-anak berkelainan, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah,
terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau
akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena
merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat
diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka,
akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah.
Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Untuk mengantisipasi hal di atas, dan dalam
rangka menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu
meningkatkan perhatian terhadap anak-anak berkelainan, baik yang telah memasuki
sekolah umum (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun
anak-anak berkelainan yang belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena
tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat
domisilinya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam
penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang
pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk
peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar
biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan
terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Hal ini diperkuat dengan Peraturan
Pemerintah tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Melalui pendidikan inklusif, anak
berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, anak berkelainan perlu diberi
kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan
pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut
perlu dipersiapkan segala sesuatunya. Pendidikan inklusi diharapkan dapat
memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak
berkelainan selama ini.
1.2 Rumusan Masalah
Penyelengaraan sistem pendidikan inklusi merupakan salah
satu syarat yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusi
(inclusive society). Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan
menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas
kehidupan. Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi
dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusi
harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan
pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Undang – undang
tentang pendidikan inklusi dan bahkan uji coba pelaksanaan pendidikan inklusinya
pun konon telah dilakukan.
Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah :
1. Sejauh
mana keseriusan pemerintah untuk mendorong terlaksananya sistem pendidikan
inklusi bagi kelompok difabel?
2. Bagaimanakah kurikulum yang dipakai dalam
pendidikan inklusi?
1.3 Tujuan Penulisan
Setelah membaca makalah
“Pendidikan Inklusi sebagai Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus” ini,
diharapkan pembaca (terutama para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan)
memiliki persepsi yang sama terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Sehingga implementasi pendidikan inklusi di sekolah dasar dapat berjalan sesuai
dengan yang diharapkan. Dengan kata lain, penyelewengan atau ketidaksesuaian sistem
akan dapat diawasi serta dibenahi. Sehingga pemerataan pendidikan bagi seluruh
warga negara akan berjalan dengan lancar sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang telah berlaku.
1.3 Manfaat
Meski sampai saat ini sekolah inklusi masih terus melakukan
perbaikan dalam berbagai aspek, namun dilihat dari sisi idealnya sekolah
inklusi merupakan sekolah yang ideal baik bagi anak dengan dan tanpa
berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat mendukung terhadap anak
dengan berkebutuhan khusus, mereka dapat belajar dari interaksi spontan
teman-teman sebayanya terutama dari aspek social dan emosional. Sedangkan bagi
anak yang tidak berkebutuhan khusus memberi peluang kepada mereka untuk belajar
berempati, bersikap membantu dan memiliki kepedulian. Disamping itu bukti lain
yang ada mereka yang tanpa berkebutuhan khusus memiliki prestasi yag baik tanpa
merasa terganggu sedikitpun.
BAB II
PEMBAHASAN
1.4
Konsep Pendidikan
Inklusi
Pendidikan inklusif
pada hakekatnya adalah bagaimana memahami segala kesulitan pendidikan yang
dihadapi oleh peserta didik. Anak/peserta didik berkelainan misalnya, mereka
mendapat kesulitan untuk mengikuti beberapa kurikulum yang ada, atau tidak
mampu mengakses cara baca tulis secara normal, atau kesulitan mengakses lokasi
sekolah, dsb. Pendekatan pendidikan inklusif dalam hal ini tidak seharusnya
melihat hambatan ini dari sisi anak/peserta didik yang memiliki kelainan,
melainkan harus melihat hambatan ini dari sistem pendidikannya sendiri,
kurikulum yang belum sesuai untuk mereka, sarana yang tersedia belum memadai,
guru yang belum siap melayani mereka dsb. Dengan demikian untuk merubah yang
tereksklusikan menjadi terinklusi adalah dengan mengidentifikasi hambatan atau
kesulitan yang dihadapi peserta didik dan mengupayakan sekolah umum/inklusif
untuk dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengatasi hambatan-hambatan
tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Dalam pernyataan
Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994
bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama memungkinkan,
semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun
perbedaan yang mungkin ada pada mereka.”
Model pendidikan khusus tertua adalah model
segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah
dari teman sebayanya. Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar,
sarana pembelajaran, system evaluasi, dan guru khusus. Dari segi pengelolaan,
model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator.
Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan.
Disebutkan oleh Reynolds dan Birch (1988), antara lain bahwa model segregatif
tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara
optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa.
Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan
peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi
mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah
penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal.
Model yang muncul pada pertengahan abad XX
adalah model mainstreaming. Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif,
model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi
anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas
biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh
karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the
least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus
ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan
jenis / tingkat kelainannya. Secara hirarkis, Deno (1970) mengemukakan
alternatif sebagai berikut:
1. Kelas biasa penuh,
2. Kelas biasa dengan tambahan
bimbingan di dalam,
3. Kelas biasa dengan tambahan
bimbingan di luar kelas,
4. Kelas khusus dengan kesempatan
bergabung di kelas biasa,
5. Kelas khusus penuh,
6. Sekolah khusus, dan
7. Sekolah khusus berasrama.
Di Amerika Serikat, diperkirakan hanya
sekitar 0,5% anak berkelainan yang bersekolah di sekolah khusus, lainnya berada
di sekolah biasa (Ashman dan Elkins,1994). Sedangkan di Inggris, pada tahun
1980-1990-an saja, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan menurun dari
sembilan juta menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa
(Warnock,1978), dan ternyata populasi peserta didik di sekolah khusus kurang
dari 3% dari jumlah anak berkelainan (Fish,1985). Pendidikan inklusi mempunyai
pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa
sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama.
Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang
dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah
inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari
kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun
anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Staub dan Peck (1995)
mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan
tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini
menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak
berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.
Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995)
menyatakan bahwa pendidikan inklusif sesbagai system layanan pendidikan yang
mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah
terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu,
ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang
mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber
belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua,
dan masyarakat sekitarnya.
Melalui pendidikan inklusif, anak
berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan
bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan
(berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
2.2 Pendidikan Luar Biasa (Pendidikan
Khusus)
Di Eropa, “sekolah
khusus” pertama didirikan kira-kira 200 tahun yang lalu. Pada abad ke-20
terjadi perkembangan yang pesat dalam bidang PLB, dengan semakin diakuinya
hak-hak sipil para penyandang cacat, hingga diberlakukannya perundang-undangan
yang mewajibkan pendidikan untuk semua dan mengharuskan pemberian jaminan
formal untuk pengajaran adaptif bagi semua anak. PLB telah muncul sebagai
sebuah bidang penelitian dan pendidikan guru yang berdiri sendiri. Antara tahun
1900 dan 1950, PLB hanya mencakup prosentasi kecil (sekitar 1%) dari total
populasi siswa dan sebagian besar diselenggarakan di sekolah khusus yang
segregatif. Sejak tahun 1970 perubahan radikal telah terjadi dan layanan PLB
diperluas mencakup para siswa di semua sekolah setempat, anak usia pra-sekolah,
remaja di sekolah menengah atas dan orang dewasa serta orang lanjut usia yang
berkebutuhan pendidikan khusus. PLB telah berkembang menjadi salah satu bidang
utama dalam disiplin ilmu pendidikan secara keseluruhan, dan menciptakan
kesempatan baru bagi para penyandang cacat dari berbagai tingkatan usia
(Befring & Tangen, 2001).
PLB merupakan bagian
integral dari sistem negara kesejahteraan, yang didasarkan atas tiga prinsip
utama: pertama, bahwa masyarakat bertanggung jawab untuk menyediakan sebuah
jaringan keselamatan untuk dimanfaatkan oleh semua orang bila mereka
membutuhkannya (misalnya bila sakit atau mengalami kecelakaan, atau bila
seseorang mencapai usia lanjut). Kedua, masyarakat bertanggung jawab untuk
menstimulasi dan mendorong setiap anggotanya untuk mengembangkan sebuah
kepribadian yang kaya dan mencapai potensinya secara penuh. Untuk mencapai
tujuan ini, setiap orang harus mendapat akses yang bebas ke pendidikan dan
kegiatan budaya. Ketiga, semua kebijakan sosial dan kesehatan didasarkan atas
prinsip-prinsip diskriminasi positif – ini merupakan gagasan untuk memberikan
semaksimal mungkin kepada mereka yang paling membutuhkannya. Manajemen PLB yang
layak adalah yang berdasarkan prinsip-prinsip diskriminasi positif, yang
berimplikasi adanya telaah yang objektif dan kritis terhadap tindakan politik
maupun praktek profesional (Befring et al., 2000:567).
Telaah kritis PLB
meliputi tantangan terhadap premis mayor model medis. Satu asumsi dasar dari
pendekatan medis atau pendekatan diagnostik-terapeutik terhadap PLB adalah
bahwa suatu diagnosis dapat dibentuk berdasarkan observasi dan tes terhadap
seorang individu, dan bahwa terdapat korelasi antara perlakuan dengan efek
rehabilitasi. Asumsi ini telah menyebabkan sumber daya manusia dan sumber dana
keuangan dalam jumlah yang sangat besar diinvestasikan untuk mencari apa yang
“salah” dalam diri seseorang sehingga mereka membutuhkan dukungan dan perhatian
profesional. Dalam prakteknya, ini berarti bahwa seorang individu cenderung
diperiksa di luar konteks, sehingga dapat ditemukan suatu kecacatan tertentu
pada dirinya, agar perlakuan dapat ditargetkan secara spesifik pada gangguan
yang diperkirakan ada.
Kegiatan diagnostik
meningkat, dan sejumlah besar anak didiagnosis sebagai memerlukan layanan PLB. Dalam
sebuah studi baru-baru ini, Skarbrevik (2001) menemukan bahwa sebanyak 20% anak
dan remaja Norwegia memerlukan layanan PLB. Alat diagnosis yang paling sering
dipergunakan dapat mengidentifikasi adanya kelainan dalam membaca, menulis dan
berbicara, dan kesulitan dalam konsentrasi dan perhatian yang diberi label
disleksia dengan variasinya, gangguan perhatian dan hiperaktivitas, serta
masalah-masalah perilaku. Semua diagnosa ini terjadi dalam konteks kehidupan
modern serta tuntutannya akan pendidikan dan adaptasi sosial, yang menimbulkan
tekanan yang besar pada anak dan remaja. Demikian besarnya tekanan ini sehingga
“permasalahan” pada tingkatan tertentu akan tampak “normal”. Namun, dalam
diagnosis tradisional dan dalam pendidikan dengan model rehabilitasi, realita
normal seperti ini sering diabaikan dan digantikan dengan pemikiran bahwa
masalah pada seorang individu dapat diatasi jika ditangani oleh orang yang
memiliki keahlian. Model medis ini telah mengakibatkan orang memfokuskan
perhatiannya pada diagnosis itu beserta permasalahan dan kelemahan yang
diakibatkannya, pelabelan dan stigmatisasi sehingga upaya lebih diarahkan pada
identifikasi masalah, bukan pada kegiatan belajar dan mengajar.
Merupakan alternatif
bagi model medis tersebut adalah perspektif pendidikan yang memfokuskan pada
pembelajaran. Alternatif ini memanfaatkan dan membangun kekayaan personal yang
dimiliki (kekuatan dan sumber daya). Sebuah model pembelajaran berupaya
memahami apa yang dapat dicapai oleh seseorang, bukannya menunjukkan kelemahan-kelemahannya.
Satu tugas utamanya adalah memperkuat identitas bagi PLB sebagai sebuah bidang
yang berorientasikan perkembangan, yang berkontribusi terhadap proses
pembelajaran yang lebih lengkap dalam kontek sosial yang lebih luas.
1.5 LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSI
Penerapan pendidikan inklusif mempunyai
landasan spiritual, yuridis, pedagogis, empiris, dan fiolosifis yang kuat.
A.
Landasan Spiritual
a.
Surat An Nisa ayat 9
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka. Maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
b. Surat Az Zuhruf ayat 32
“Allah telah menentukan diantara manusia penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan Allah telah meninggikan sebagian dari mereka atas sebagian
yang lain beberapa derajatagar sebagian mereka dapat saling mengambil manfaat(membutuhkan)”.
B. Landasan Yuridis
Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah
Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se dunia.
Deklarasi ini sebenarnya penagasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun
1948 dan berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB
tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh
pendidikan sebagai bagian integral dari system pendidikan ada. Deklarasi
Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar
bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada
mereka. Sebagai bagian dari umat manusia yang mempunyai tata pergaulan
internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO
tersebut di atas.
Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa
penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki
kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah
khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan
operasional.
C. Landasan pedagogis
Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, nerilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang
demokratis dan bertanggungjawab.Jadi, melalui pendidikan, peserta didik
berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab,
yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam
masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan
dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka
harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
D. Landasan empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara
barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the
National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa
klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat
khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar
pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil
identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar
bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan
penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang
sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995).
Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut)
atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh
Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker
(1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah
penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik
terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman
sebayanya.
F. Landasan filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia
adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan
atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika
(Mulyono Abdulrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan
manusia, baik kebinekaan vertical maupun horizontal, yang mengemban misi
tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertical ditandai dengan
perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan,
kemampuan pengendalian diri, dsb. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai
dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal,
daerah, afiliasi politik, dsb. Karena berbagai keberagaman namun dengan
kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajuban untuk membangun
kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.
Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan
keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku,
ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah
dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri
individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak hanya
makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak
memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku,
bahasa, budaya, atau agama.Hal ini harus diwujudkan dalam system pendidikan.
Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar
siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih
asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citkan
dalam kehidupan sehari-hari.
2. KONTROVERSI PENDIDIKAN
INKLUSI
Seperti halnya di Indonesia, di negara asalnyapun penyelenggaraan
pendidikan inklusif masih kontroversi (Sunardi, 1997).
A. Pro Inklusi
Para
pendukung konsep pendidikan inklusif mengajukan argumen antara lain sebagai
berikut:
1.
Belum banyak bukti empiris yang
mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang diberikan di luar kelas
reguler menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak;
2.
Biaya sekolah khusus relatif
lebih mahal dari pada sekolah umum;
3.
Sekolah khusus mengharuskan
penggunaan label berkelainan yang dapat berakibat negatif pada anak;
4.
Banyak anak berkelainan yang
tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia sekolah khusus yang
dekat;
5.
Anak berkelainan harus
dibiasakan tinggal dalam masyarakat bersama masyarakat lainnya.
B. Kontra inklusi
Sedangkan
para pakar yang mempertahankan penyediaan berbagai alternatif penempatan
pendidikan bagi anak berkelainan berargumen sebagai berikut:
1.
Peraturan perundangan yang
berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak berkelainan disediakan layanan pendidikan
yang bersifat kontinum;
2.
Hasil penelitian tetap
mendukung gagasan perlunya berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak
berkelainan;
3.
Tidak semua orang tua
menghendaki anaknya yang berkelainan berada di kelas reguler bersama
teman-teman seusianya yang normal;
4.
Pada umumnya sekolah reguler
belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena keterbatasan sumber daya
pendidikannya.
Oleh
karena itu, meskipun sudah ada sekolah inklusi, keberadaan sekolah khusus
(segregasi) seperti SLB masih diperlukan sebagai salah satu alternatif bentuk
pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan yang memerlukan.
C. Inklusi Moderat
Melihat kontroversi yang lebih bersifat filosofis, Vaughn, Bos, dan
Schumm (2000), mengemukakan bahwa dalam praktik, istilah inklusi sebaiknya
dipakai bergantian dengan instilah mainstreaming, yang secara teori diartikan
sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkelainan sesuai
dengan kebutuhan individualnya. Penempatan anak berkelainan harus dipilih yang
paling bebas di antara delapan alternatif di atas, berdasarkan potensi dan
jenis / tingkat kelainannya. Penempatan ini juga bersifat sementara, bukan
permanen, dalam arti bahwa iswa berkelainan dimungkinkan secara luwes pindah
dari satu alternatif ke alternatif lainnya, dengan asumsi bahwa intensi
kebutuhan khususnya berubah-ubah. Filosofinya adalah inklusi, tetapi dalam
praktiknya menyediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhannya. Model ini juga sering disebut inklusi moderat, dibandingkan
dengan inklusi radikal seperti yang diperjuangkan oleh mereka yang pro inklusi.
Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara
formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan
dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak
termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak memperolah
pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat
1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan
bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997
tentang penyandang cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler,
pemerintah dan badan-badan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah
khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa
jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di
daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi
di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang
cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan
biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan.
Ini pula masalah yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi,
di samping memecahkan masalah golongan penyandang cacat yang merata karena
diskriminasi sosial, karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan
yang lain.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba
perintisan sekolah inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota
Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan
perintis itu memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit belajar
sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan
sampai sekarang belum ada informasi yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut.
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi
(Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di
Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya
adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena
mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan.
Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan
anak-anaknya ke SD. Muhamadiyah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang
satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik,
juga ia ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Hal yang
sangat penting disini yang berkaitan dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat
menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan
potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba
dibeberapa daerah sejak tahun 2001, secara formal pendidikan inklusi
dideklarasikan di Bandung tahun 2004 dengan beberapa sekolah reguler yang
mempersiapkan diri untuk implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini
tidak ada tanda-tanda untuk itu, informasi tentang pendidikan inklusi tidak
muncul kepada publik, isu ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti
biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan lain-lain.
Melihat kondisi dan system pendidikan yang
berlaku di Indonesia, model pendidikan inklusif lebih sesuai adalah model yang
mengasumsikan bahwa inklusi sama dengan mainstreaming, seperti pendapat Vaughn,
Bos & Schumn.(2000). Penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan
dengan berbagai model sebagai berikut:
1. Kelas reguler (inklusi penuh)
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari
di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama
2. Kelas reguler dengan cluster
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler
dalam kelompok khusus.
3. Kelas reguler dengan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler
namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber
untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler
dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas
reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5. Kelas khusus dengan berbagai
pengintegrasian
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler,
namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler.
6. Kelas khusus penuh
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
F. KOMPONEN YANG
PERLU DISIAPKAN
Mutu pendidikan (lulusan) dipengaruhi oleh mutu proses
belajar-mengajar; sementara itu, mutu proses belajar-mengajar ditentukan oleh
berbagai faktor (komponen) yang saling terkait satu sama lain, yaitu:
1. Input
siswa
Kemampuan
awal dan karakteristik siswa menjadi acuan utama dalam mengembangkan kurikulum
dan bahan ajar serta penyelenggaraan proses belajar-mengajar.
2.Kurikulum
A. Lingkup
Pengembangan Kurikulum
Kurikulum
pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional)
yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak
berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan
tingkat kecerdasannya.
Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap:
Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap:
1.
alokasi waktu,
2. isi/materi kurikulum,
3. proses belajar-mengajar,
4. sarana prasarana,
5. lingkungan belajar, dan
6. pengelolaan kelas.
2. isi/materi kurikulum,
3. proses belajar-mengajar,
4. sarana prasarana,
5. lingkungan belajar, dan
6. pengelolaan kelas.
B. Pengembang Kurikulum
Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi dapat dilakukan
oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang mengajar di
kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama guru
pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman
mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog),
yang dipimpin oleh Kepala SD Inklusi dan sudah dikoordinir oleh Dinas
Pendidikan.
C. Pelaksanaan
Pengembangan Kurikulum
Pengembangan
kurikulum dilaksanakan dengan:
1. Modifikasi alokasi waktu
2. Modifikasi isi/materi
3. Modifikasi proses belajar-mengajar
4. Tenaga kependidikan
2. Modifikasi isi/materi
3. Modifikasi proses belajar-mengajar
4. Tenaga kependidikan
5. Dana
6. Manajemen
7. Lingkungan
8. Proses
belajar-mengajar
9. Sarana-prasarana
_________________________________________________________
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi,
terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah
inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar – benar
dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada
sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki
perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi
hanya terkesan program eksperimental.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban
para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu
sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk
mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki
ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang
difabel.
B.
SARAN
Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program
pendidikan inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan
– tahapan pelaksanaan pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari
sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan secara
langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan inklusi
adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan
(cooperative learning). Cooperative Learning akan mengajarkan para siswa untuk
dapat saling memahami (mutual understanding) kekurangan masing – masing
temannya dan peduli (care) terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya.
Dengan demikian maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar
persaingan (competitive learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan
kita.
_________________________________________________________
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Muhammad, Pengembangan kurikulum di Sekolah,
Sinar Baru Algensindo Bandung. 2008.
Hamalik, Oemar,
Manjemen Pengembangan Kurikulum, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
2007.
Mulyono,
Abdulrahman (2003). Landasan Pendidikan Inklusif dan Implikasinya dalam
Penyelenggaraan LPTK. Makalah disajikan dalam pelatihan penulisan buku ajar
bagi dosen jurusan PLB yang diselenggarakan oleh Ditjen Dikti. Yogyakarta, 26
Agustus 2002.
Nasution,
Pengembangan Kurikulum, PT. Citra
Aditya Bakti, Jakarta. 1993
Syaodih, Nana, Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktek, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. 2010
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Undang-undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Baca juga:
Advertisement
No comments